Posted in Dialog Hati, Episode Hidup

Nikmat yang Terlupa

By default, seseorang akan mudah merasa beruntung saat mendapat atau merasakan sesuatu istimewa yang jarang terjadi atau di luar kebiasaan. Beberapa hari terakhir ini saya menyadarinya. Mungkin sepele bagi kebanyakan orang, tapi luar biasa menyenangkan bagi saya: Bisa pup tiap hari di pagi hari! 😀
Entah sejak kapan, saya mengalami konstipasi. Bahkan sebelumnya saya tidak menyadarinya, karena saya pikir tidak pup selama 4-5 hari tuh ya biasa aja, saking seringnya saya dalam kondisi begitu. Sepekan dua kali aja udah bisa dibilang oke buat saya. Mungkin ini juga yang sering bikin tubuh saya terasa kurang fit. Ya bayangkan saja, menyimpan toksin sekian lama dalam tubuh, padahal seharusnya rutin dibuang setiap hari. Hiks.. Betapa saya iri pada suami dan anak-anak yang terbilang tak ada masalah dalam urusan pup ini. Rata-rata rutin tiap hari.

Tiga harian ini saya tersadar bahwa sejak pulang mudik, saya rutin pup tiap pagi di jam yang sama! Alhamdulillaah.. rasanya penuh syukur! Padahal, sepertinya tidak ada rutinitas baru yang saya lakukan. Waktu masih mudik juga saya pup 2-3 hari sekali sepertinya. Asupan makanan saya tidak banyak berubah, olahraga juga malah belum kembali dirutinkan lagi. Aktivitas harian masih sama-sama aja seperti biasa. Meskipun belum tahu penyebabnya, saya banyak mengucap syukur karena hal ini. 🙂

Lalu saya kepikiran. Hal yang saya syukuri betul-betul ini, tampaknya sesuatu yang biasa bagi kebanyakan orang. Bagi suami dan anak-anak saya, misalnya, karena sudah biasa begitu, maka tidak istimewa lagi. Sementara saya, setiap pagi jadi banyak mengucap syukur karenanya.
Bagaimana dengan hal-hal yang tampak biasa bagi saya selama ini? Jangan-jangan, saya pun sering lupa untuk bersyukur atas banyaknya nikmat dan kemudahan yang sudah ALLAH beri, simply karena terasa biasa-biasa saja?

Soal mertua, misalnya. Kemarin-kemarin saya sempat melihat konten tentang sulitnya menghadapi mertua dan keluarga suami (istri). Lalu komentar-komentar di bawahnya banyak yang mengiyakan.
Adalah wajar ketika kita bisa nyaman bermalam di rumah orang tua sendiri, tapi sangat tidak betah sebentar saja di rumah mertua.
Adalah wajar ketika seorang menantu selamanya diperlakukan sebagai orang lain, tak pernah dianggap sebagai anak oleh mertua.
Adalah wajar jika sebagai menantu pun, tetap menganggap mertua (dan keluarga suami/istri) sebagai orang lain. Katanya, agar tidak mudah baper jika diperlakukan kurang menyenangkan.
Adalah wajar jika yang namanya menantu perempuan tidak bisa cocok dan akrab dengan mertua perempuan.
Dan komentar-komentar serupa.
Saat itu, saya terdiam bingung membacanya. Ternyata, banyak juga ya yang merasa demikian?
Padahal, saya tak pernah mengalaminya satu pun.

Alhamdulillaah, ALLAH karuniakan saya dua mertua (ibu dan bapak) yang sangat baik. Mungkin belum sepenuhnya menganggap saya anak (seperti mereka memperlakukan suami saya dan adik-adiknya), tapi saya sangat amat merasa diterima sebagai bagian dari keluarga mereka.
Mudik kemarin juga membuat hubungan saya dengan adik-adik (ipar) saya semakin cair.
Memang, di awal pernikahan dulu masih banyak rasa canggung. Tapi, wajar lah. Saya dan suami saja butuh adaptasi panjang, apalagi dengan keluarga mertua kan?
Saya jadi sadar, bahwa untuk satu hal ini saja (diterima dengan baik di keluarga suami) adalah sesuatu yang patut saya syukuri banyak-banyak.
Belum lagi, kalau mengingat betapa hangatnya keluarga besar suami (pakde/bude, paklik/bulik, kakak/adik sepupu, bahkan tetangga sekitar) terhadap saya. Betapa saya selalu merasa nyaman berlama-lama dengan mereka. 🙂

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Maka jika kamu menghitung nikmat ALLAH, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya.
Mungkin inilah kenapa beberapa orang memilih menulis jurnal syukur dalam keseharian, karena sebenarnya nikmatNYA sangat banyak. Tapi karena terasa biasa, kita seringkali terlupa mensyukurinya, bahkan sekadar mengingatnya.

Lalu saya teringat sepulang dari mudik kemarin, ketika saya tiba-tiba refleks berucap pada suami, di mobil, saat perjalanan pulang.
“Makasih ya Pa..”
“Kenapa?” beliau tanya, padahal sudah tahu maksud saya.
“Karena jadi suami yang kayak gini.”
Sebelumnya, saya baru selesai bercerita tentang perlakuan suami kenalan saya yang minta diperlakukan bak raja oleh istrinya. Disiapkan segala sesuatunya, bahkan untuk hal sesepele membawakan handuk saat suaminya akan mandi atau meletakkan sepatu kerja tepat di depan pintu agar suaminya tinggal pakai (tanpa harus mengambilnya sendiri dari rak sepatu). Si istri juga harus menyiapkan makan suaminya (dalam piring) dan membawakannya ke dalam kamar, karena suaminya terbiasa makan di kamar. Jika akan berangkat kerja, si istri jugalah yang bertugas memanaskan kendaraan suaminya lebih dulu.
Di samping itu, untuk urusan anak juga lebih banyak dihandle istri.
Entah ya, meskipun husnuzhannya si suami tetap ambil banyak peran lain yang saya tidak tahu, tapi rasanya saya tidak akan sanggup kalau suami saya bersikap demikian.
Maka lagi-lagi, ini adalah satu hal yang juga ternyata perlu saya syukuri banyak-banyak. Alhamdulillaah.. 🙂

Sepertinya, saya perlu lebih banyak merenung. Bermuhasabah setiap harinya.
Selain mengevaluasi hal-hal buruk yang diupayakan tidak terulang esok hari, saya juga perlu mengingat nikmat-nikmat ALLAH yang seringkali terlupa disyukuri.
Napas yang tak henti tanpa sesak sekalipun,
Pancaindera lengkap yang memudahkan saya melakukan segala hal,
Anak-anak yang mudah melakukan shalat lima waktu,
Tubuh yang terbilang sehat, sehingga ringan diajak beraktivitas,
Hal-hal lain yang saking biasanya, acapkali terlupa untuk disyukuri.
Termasuk rasa bahagia berhasil menuliskan ini malam ini, melawan kemalasan setelah berhari-hari tak menyentuh blog.
Maa syaa ALLAH. Alhamdulillaah. 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Author:

positive.perfectionist.optimistic

Leave a comment