Posted in Dialog Hati, Surat Cinta

Validasi Dua Sisi

Diamanahi anak lebih dari satu, tentunya harus dihadapkan dengan kondisi harus melerai pertengkaran yang terjadi berulang kali. Setiap hari adaaaa saja yang jadi pemicu. Seringnya, sebenarnya masalahnya sederhana. Tapi, tak jarang berujung adu fisik, teriakan, hingga tangisan.
Sebagai orang tua, akhirnya harus sigap menjadi penengah. Bisa jadi memang ada yang salah, tapi penyelesaiannya nggak bisa cuma menyalahkan salah satu dan membela yang lain. Ada satu hal penting yang perlu dijadikan pegangan ketika menjadi mediator, validasi dua sisi. Karena setiap perasaan itu valid, maka penting memberi kesempatan yang sama pada dua pihak untuk bicara, menjelaskan. Mendengarkan secara penuh apa yang dirasa, apa yang menjadi masalah masing-masing pihak untuk diselesaikan.

Mudik kali ini, ada lima anak yang harus dihadapi. Tiga anak saya, dan masing-masing satu anak adik-adik (ipar) saya.
Kemarin, Umair (salah satu keponakan saya, usia menjelang 4 tahun) tiba-tiba berteriak menangis. Di sela tangisnya, terdengar dia menyalahkan BIru yang menyenggolnya, membuat bagian bibirnya sakit. Biru, menolak mengakui dan justru menyalahkan Alika. “Bukan aku, itu Lika. Kok aku yang disalahin?” protesnya.
Alika, yang awalnya tenang, akhirnya juga menangis karena terus-terusan disalahkan oleh masnya.
Ketika saya datang, ketiganya saling berteriak di sela tangisan, sambil saling menyalahkan. Umair jadi ragu menyalahkan Biru, dan beralih ikut menyalahkan Alika. Makin kencang lah tangisan Alika.
Saya mendekat, memeluk Alika sambil berusaha menenangkan ketiganya.
“Sekarang tenang dulu yuk semuanya. Mama mau dengarkan satu-satu. Bude mau dengarkan satu-satu,” saya ucapkan berulang, membahasakan diri “mama” dan “bude” untuk ketiganya. “Tapi, harus pada berhenti dulu nangisnya. Nggak bisa dengarlah kalau pada nangis semua, kan?”
Sulit, karena semua masih berlomba saling menyalahkan sambil menangis.

Akhirnya saya fokus pada Biru dulu, yang paling tua di sana.
“Mas diam dulu yuk, berhenti dulu nyalahin Alikanya. Tenang dulu, nggak ada yang nyalahin mas kok.”
“Tapi aku nggak salah. Umair nyalahin aku terus,” katanya.
“Umair ada yang sakit? Yang nyenggol pasti nggak sengaja kok sayang,” saya beralih ke Umair. Mencoba menenangkan, menghentikan marah dan tangisnya.
Dia menunjuk bibirnya sambil merengut, masih kesal.
Alika, di pelukan saya, masih berusaha menghentikan tangisnya. Saya masih pelan-pelan menepuk-nepuk punggungnya.
“Alika nggak merasa nyenggol Umair?”
“Enggak, aku nggak dorong, tapi mas nyalahin Lika terus,” katanya.

“Maaf ya Umair, mas mbaknya nggak ada yang merasa nyenggol. Mungkin tadi pas buru-buru pada lari, nggak sengaja nyenggol Umair. Jadi kena bibirnya ya, maaf ya.. Coba sini dilihat bude, sambil didoain bareng ya.. Ya ALLAH, sembuhkan bibir Umair.. Aamiin..”
Ketiganya mulai tenang. Meskipun, saat saya ajak saling bersalaman memaafkan, belum ada yang mau.
Ya sudah, tak apa. Mereka perlu waktu.
“Nanti main-main lagi sama-sama ya..” kata saya.

Validasi perasaan.
Saya belajar, bahwa setiap perasaan itu valid. Terlepas dari benar dan tidaknya, atau bagaimana seharusnya perasaan itu diarahkan, setiap yang dirasa adalah valid.
Merasa senang, sedih, kecewa, marah, dendam, ikhlas, legowo, pasrah, apapun itu.
Semua perasaan itu valid.
Maka ketika terjadi perselisihan, yang harus digali lebih dulu adalah apa yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Bagaimana sudut pandang masing-masing pihak.
Seringkali, terutama pertengkaran di antara anak-anak kecil, yang terjadi hanya salah paham. Maka masing-masing merasa sebagai korban yang pantas menyalahkan. Jadilah tidak sampai pada titik temu. Pihak penengah lah yang harus bisa membantu menemukannya. Tentunya, diawali dengan mendengar satu-satu, memvalidasi perasaan masing-masing pihak dengan utuh. 🙂

Dari pengalaman, saya cukup luwes melerai pertengkaran anak-anak. Saya selalu bisa memposisikan diri sebagai pihak netral yang siap mendengarkan penuh dan memvalidasi perasaan masing-masing dari dua sisi.
Ironisnya, kalau dipikir-pikir, saya sering gagal memvalidasi perasaan suami ketika kami terlibat satu perdebatan atau ketidaksepakatan.
Saya bukan lupa, seringnya saya dengan sengaja mengabaikan perasaan suami. Padahal, sejatinya saya paham bahwa apapun yang dirasakan suami juga valid.
Kasus yang paling sering terjadi adalah soal kecerobohan atau kelalaian suami dalam melakukan sesuatu yang kerap membuat saya gemas. Suami saya tuh kebiasaan lupanya luar biasa. Bahkan untuk hal-hal yang baru saja saya ingatkan, beliau mudah untuk lupa. Kalau pas menyangkut hal yang penting dan efek lupanya merembet ke mana-mana, saya sering kesal sekali dan nyerocos panjang marah-marah ke beliau. Lalu mengikuti alur yang berulang. Saya marah-marah, suami hanya diam, saya semakin marah karena merasa tidak ada tanggapan, suami hanya minta maaf, saya marah lagi karena merasa suami kurang effort untuk berubah, suami minta maaf lagi, lalu lama-lama emosi saya akan mereda sendiri.

Ternyata, jika urusannya dengan suami, saya masih perlu banyak berlatih validasi dua sisi.
Tidak hanya perasaan saya kan yang valid? Suami saya juga.
Saya sering menganggap enteng, bahkan terkesan tidak percaya dengan ucapan suami “Aku juga berusaha Ma, tapi ya memang susah sekali berubahnya.”
Di mata saya, beliau sama sekali tidak ada effortnya.
Saya sering menganggapnya nggak serius berusaha berubah. Kurang kuat berupaya. Padahal, percaya ketika beliau mengakui kesalahan dan usahanya, dengan mengesampingkan sudut pandang saya lebih dulu, adalah bentuk validasi perasaan yang juga penting dilakukan.
Dengan memvalidasi perasaannya lebih dulu secara penuh, setidaknya beliau akan merasa mendapat support untuk berusaha lebih baik.
Toh saya juga masih banyak kurangnya. Masih berusaha keras mengelola emosi dengan lebih baik, dan banyak hal lain lagi.
Sementara saya yang sering menuntut suami, rasanya suami sudah sebegitu banyak mencoba mengerti sudut pandang saya.
Maaf ya Pa. Semoga ke depannya aku bisa lebih baik lagi memvalidasi perasaan papa lebih dulu juga. 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Author:

positive.perfectionist.optimistic

Leave a comment