Posted in Dialog Hati, Episode Hidup

Memutar Kembali Waktu

Sepanjang hidup, adakah pengalaman yang ingin kamu ubah dan perbaiki?
Sesuatu yang kamu sesali?
Satu hal yang ingin kamu lupakan sama sekali?
Jalan cerita yang ingin kamu ubah alurnya?
Seseorang yang ingin kamu hapus dari ingatan, atau sekuat upaya menghindarinya dari pertemuan?

Bagi saya, mungkin ada beberapa momen yang ingin saya revisi jika mungkin.
Tapi yang utama terpikir oleh saya adalah, berupaya lebih keras untuk tuntas menyusui Alula hingga 2 tahun. Memenuhi hak nutrisi terbaiknya, yang ALLAH titipkan lewat tubuh saya sebagai ibunya.
Alula kecil hanya mendapat ASI hingga usia sembilan bulan. Menginjak bulan ke-10, ia harus berbagi fokus mamanya dengan menjaga rahim saya jauh dari kontraksi berlebih. Ada adiknya di dalamnya.
Saya dulu rasanya kurang ilmu, dan kurang usaha untuk mencari cara.
Ketika rahim terasa semakin sering nyeri, lalu dokter mengatakan isapan ASI kakaknya memicu kontraksi, saya memilih menyerah. Beralasan khawatir pada Biru yang masih serupa janin di perut, saya memilih menuruti saran dokter untuk berhenti menyusui Alula.
Padahal, semestinya saya berusaha lebih keras. Mencari konselor laktasi, atau setidaknya mencari second opinion dulu dari dokter lain. Tapi saat itu, saya hanya mengiyakan dan membiarkan Alula tak lagi menyusu ketika akhirnya produksi ASI saya pada akhirnya terhenti akibat frekuensi menyusui yang terus-menerus dikurangi secara bertahap.
Saya bahkan masih ingat betul, ketika Alula kecil melepaskan isapannya lalu berkata, “Kok nggak ada?” dan hanya dengan itu saya memutuskan berhenti. Memaksanya beralih ke susu formula dalam dot, dan tanpa upaya lain hanya pasrah mengakui bahwa produksi ASI saya memang tak lagi ada.
Padahal, masih memungkinkan dilakukan relaktasi.
Sedihnya, saat itu saya kurang referensi. Terlalu nyaman pada ilmu yang kurang mumpuni. 😦

Lalu apa lagi momen yang ingin saya ubah?

Rasanya tak mungkin seseorang menjalani hidup dengan lurus sepenuhnya tanpa cela. Saya akui, bisa dibilang tentunya banyak hal yang saya sesali.
Sempat menempuh jalan batil dengan alasan ingin menikah (sebelum berproses dengan suami), misalnya.
Atau, tak tuntasnya saya menyelesaikan studi master.
Atau, lebih jauh lagi, tidak seriusnya saya memilih jurusan kuliah sejak awal, sehingga saya kekurangan strong why untuk melakukan yang terbaik dalam pendidikan perguruan tinggi.
Atau, kebohongan dan ucapan bernada tinggi yang pernah saya lakukan pada Mamah-Bapak.
Atau, kemarahan-kemarahan pada suami dan anak-anak yang selalu saya sesali sesaat setelah melakukannya.
Atau, rasa kesal pada orang tertentu yang ingin saya lupakan saja.
Atau, sesederhana menunda menulis hingga larut seperti ini.
Tapi, sebanyak apapun hal yang saya sesali, rasanya tak ada satu pun yang membuat saya ingin memutar waktu.

Ya, penyesalan soal tidak menyusui Alula hingga 2 tahun itu terus terang masih terus membayangi saya hingga kini.
Saya masih terus berulang meminta maaf padanya setiap momen menyusui adik-adiknya datang. Terus berusaha membesarkan hatinya, meyakinkannya bahwa ia akan tetap tumbuh jadi anak sehat dan cerdas atas izinNYA.
Tapi, kalaupun ada tawaran memutar waktu, saya tidak akan mengambilnya.
Saya percaya, saya yang sekarang adalah takdir terbaik yang ALLAH tetapkan. Segala bentuk penyesalan dan trauma yang pernah saya hadapi biarlah sebatas evaluasi, yang akan membentuk saya lebih baik lagi.
Memang belum semuanya berhasil saya lepaskan, masih banyak PR menata hati lebih ridha pada apa yang sudah berlalu.
Saya termasuk yang percaya bahwa tidak ada yang perlu dilupakan, hanya butuh upaya lebih keras untuk merelakan dengan ikhlas sepenuhnya.
Kegagalan, kekecewaan, kebencian, kekesalan, hanyalah bagian dari episode hidup yang mungkin memang harus dilewati.
TakdirNYA selalu jauh lebih baik, dan yang perlu diupayakan adalah menjemput takdirNYA ke depan dengan cara yang lebih baik. 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Posted in Episode Hidup

Atasi Malas dengan Rutinitas

Mudik tahun ini terbilang cukup lama. Biasanya suami sulit dapat jatah cuti lebaran. Tahun ini, alhamdulillaah bisa mudik sepekan. Ya, meskipun endingnya memang extend cuti karena Biru sempat opnam kemarin di Blitar (pengen cerita soal ini juga nih, next post in syaa ALLAH).
Lama meninggalkan aktivitas di rumah, sepulang mudik kemarin rasanya butuh adaptasi tersendiri untuk mengembalikan produktivitas harian. Kembali menghidupkan rutinitas yang biasa dilakukan tanpa malas. Awal di rumah, saya masih berat memulai aktivitas sejak pagi. Bangun maksimal subuh sih, tapi setelahnya masih sering banyak alasan dan akhirnya kalah pada keinginan tidur lagi lebih dulu. Alhamdulillaah, sejak anak-anak kembali masuk sekolah, mau tak mau saya kembali dengan rutinitas antar-jemput anak, dan otomatis terpaksa memulai aktivitas lebih pagi. 🙂

Jadi flashback saat di rumah ibu (mertua) mudik kemarin. Kalau dipikir-pikir, meskipun kondisi liburan, aktivitas saya di sana terhitung produktif sejak pagi.
Ya wajar lah namanya di rumah mertua. Pasti nggak bisa malas-malasan!
Hihii.. Alhamdulillaah ibu-bapak mertua saya bukan tipe yang bikin mantunya canggung terus jadi nggak enakan bersantai-santai sih. Tiap di rumah mertua, saya bahkan nggak pernah masak. Ibu yang selalu menyediakan masakan harian di rumah. Malah, saya juga nggak pernah bikin kopi sendiri selama di sana. Ibu tuh rutin bikinin kopi hitam untuk saya dan suami kalau lagi pulang ke rumah Blitar. Satu hal yang selalu saya rindukan. 🙂
Balik lagi tentang produktivitas sejak pagi selama mudik, sepertinya saya jadi produktif karena tanpa sadar punya rutinitas sendiri yang terbentuk di rumah.
Pagi, selepas subuh (plus malas-malasan atau apapun di kamar), Ibu pasti sudah menyediakan kopi hitam untuk saya dan suami. Kami akan menikmatinya sambil ngemil camilan hari raya yang tersaji di ruang tamu, baru memulai aktivitas. Biasanya, suami kebagian mengkondisikan ketiga anak kami mandi, plus mencuci pakaian (jika perlu). Saya bergerak membersihkan dan merapikan ruang tamu. Membereskan sampah-sampah sisa makanan/minuman kemasan, mengosongkan tempat sampah dan mengganti kreseknya, lalu lanjut menyapu ruang tamu hingga ruang tengah. Kalau ruang tamu sudah rapi, saya beranjak ke dapur. Mencuci tumpukan piring, gelas, dan berbagai printilan kotor di sink. Setelahnya, bergegas mandi dan menjemur pakaian (jika ada). Barulah kami sarapan pagi sama-sama seisi rumah.
Usai sarapan, hari-hari pasca Idulfitri biasanya diisi dengan berkeliling ke rumah-rumah tetangga dan kerabat.

Sebenarnya, rutinitas ini awalnya terbentuk sendiri karena aslinya saya nggak suka kondisi berantakan di rumah. Rumah Ibu-Bapak Blitar, di sisi lain, sepertinya defaultnya memang berantakan. 😀
Saya ingat sekali, dulu pas awal-awal nikah dan ke rumah mertua, saya bisa dibilang sempat agak stres dan bingung sendiri dengan kondisi rumah. Tidak ada kebiasaan memastikan rumah rapi dan bersih sebelum tidur. Kalau ada yang makan-minum sesuatu di malam hari, piring-gelas atau kemasan bekasnya tuh nggak langsung dibereskan, dibiarkan berserakan di mana-mana sampai pagi. Bahkan bisa sampai besok dan besoknya lagi kalau nggak ada yang sadar beresin. 😦
Belum lagi kalau bicara banyaknya barang jarang banget dipakai di seantero rumah. Rumah penuh, berantakan, kebanyakan barang kurang fungsional.
Maka, saya jadi mudah paham ketika di awal menikah dulu, suami juga terasa berantakan banget. Bisa jadi kayak sekarang tuh berarti beliau effortnya lumayan juga, mengingat kebiasaan di rumahnya sejak kecil memang begitu.

Kalau sekarang, akhirnya saya mencoba memahami dari sisi Ibu-Bapak. Ibu-Bapak memang sudah tua, bisa dibilang tanpa ART juga di rumah. Sehari-hari masih sibuk dengan urusan desa karena Bapak adalah Lurah di sana. Sulit mungkin mengatur rumah agar selalu bersih dan rapi, tak sempat. Jadilah kalau pas kami kesempatan mudik, kami niatkan sekalian ambil peran beberes rumah sebisanya. 🙂
Tahun depan, rencananya kami akan membantu Ibu declutter barang-barang di rumah biar rumah lebih lega dan mudah dirapikan. 🙂

Bicara tentang rutinitas, ini sepertinya adalah satu cara paling ampuh mengatasi malas.
Awal tahun ini, ketika saya memumutuskan untuk lebih fleksibel dalam mengatur jadwal dan to do list harian, saya sempat kebablasan santai dan justru kehilangan rutinitas yang membuat hari-hari saya on track dan penuh energi.
Terlalu saklek bikin to do list harian memang somehow membuat jenuh dan stres, tapi saat benar-benar go with the flow tanpa pakem rutinitas, ternyata saya kayak kehilangan arah. Bingung what to do, lalu berakhir bermalas-malasan berkepanjangan.
Alhamdulillaah, dua bulan terakhir ini mulai menemukan ritme yang nyaman. Tetap membuat rencana harian, tapi tidak terlalu kaku. Akhirnya, ada rutinitas yang terbentuk dengan sendirinya. Ini yang membuat hari-hari saya menjadi lebih terarah. 🙂
Sejak Ramadhan kemarin, masih ada satu rutinitas yang hilang dan perlu kembali diupayakan nih. Jalan pagi! Dulu sudah berhasil jadi rutinitas tiap pagi, Ramadhan berkurang frekuensinya, pasca Lebaran malah menghilang sama sekali. Duh! Perlu upaya lebih keras untuk menghidupkan kebiasaan itu lagi.
Bismillaah.. Demi hari-hari yang lebih produktif dan penuh semangat! ^_^

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Posted in Dialog Hati, Episode Hidup

Nikmat yang Terlupa

By default, seseorang akan mudah merasa beruntung saat mendapat atau merasakan sesuatu istimewa yang jarang terjadi atau di luar kebiasaan. Beberapa hari terakhir ini saya menyadarinya. Mungkin sepele bagi kebanyakan orang, tapi luar biasa menyenangkan bagi saya: Bisa pup tiap hari di pagi hari! 😀
Entah sejak kapan, saya mengalami konstipasi. Bahkan sebelumnya saya tidak menyadarinya, karena saya pikir tidak pup selama 4-5 hari tuh ya biasa aja, saking seringnya saya dalam kondisi begitu. Sepekan dua kali aja udah bisa dibilang oke buat saya. Mungkin ini juga yang sering bikin tubuh saya terasa kurang fit. Ya bayangkan saja, menyimpan toksin sekian lama dalam tubuh, padahal seharusnya rutin dibuang setiap hari. Hiks.. Betapa saya iri pada suami dan anak-anak yang terbilang tak ada masalah dalam urusan pup ini. Rata-rata rutin tiap hari.

Tiga harian ini saya tersadar bahwa sejak pulang mudik, saya rutin pup tiap pagi di jam yang sama! Alhamdulillaah.. rasanya penuh syukur! Padahal, sepertinya tidak ada rutinitas baru yang saya lakukan. Waktu masih mudik juga saya pup 2-3 hari sekali sepertinya. Asupan makanan saya tidak banyak berubah, olahraga juga malah belum kembali dirutinkan lagi. Aktivitas harian masih sama-sama aja seperti biasa. Meskipun belum tahu penyebabnya, saya banyak mengucap syukur karena hal ini. 🙂

Lalu saya kepikiran. Hal yang saya syukuri betul-betul ini, tampaknya sesuatu yang biasa bagi kebanyakan orang. Bagi suami dan anak-anak saya, misalnya, karena sudah biasa begitu, maka tidak istimewa lagi. Sementara saya, setiap pagi jadi banyak mengucap syukur karenanya.
Bagaimana dengan hal-hal yang tampak biasa bagi saya selama ini? Jangan-jangan, saya pun sering lupa untuk bersyukur atas banyaknya nikmat dan kemudahan yang sudah ALLAH beri, simply karena terasa biasa-biasa saja?

Soal mertua, misalnya. Kemarin-kemarin saya sempat melihat konten tentang sulitnya menghadapi mertua dan keluarga suami (istri). Lalu komentar-komentar di bawahnya banyak yang mengiyakan.
Adalah wajar ketika kita bisa nyaman bermalam di rumah orang tua sendiri, tapi sangat tidak betah sebentar saja di rumah mertua.
Adalah wajar ketika seorang menantu selamanya diperlakukan sebagai orang lain, tak pernah dianggap sebagai anak oleh mertua.
Adalah wajar jika sebagai menantu pun, tetap menganggap mertua (dan keluarga suami/istri) sebagai orang lain. Katanya, agar tidak mudah baper jika diperlakukan kurang menyenangkan.
Adalah wajar jika yang namanya menantu perempuan tidak bisa cocok dan akrab dengan mertua perempuan.
Dan komentar-komentar serupa.
Saat itu, saya terdiam bingung membacanya. Ternyata, banyak juga ya yang merasa demikian?
Padahal, saya tak pernah mengalaminya satu pun.

Alhamdulillaah, ALLAH karuniakan saya dua mertua (ibu dan bapak) yang sangat baik. Mungkin belum sepenuhnya menganggap saya anak (seperti mereka memperlakukan suami saya dan adik-adiknya), tapi saya sangat amat merasa diterima sebagai bagian dari keluarga mereka.
Mudik kemarin juga membuat hubungan saya dengan adik-adik (ipar) saya semakin cair.
Memang, di awal pernikahan dulu masih banyak rasa canggung. Tapi, wajar lah. Saya dan suami saja butuh adaptasi panjang, apalagi dengan keluarga mertua kan?
Saya jadi sadar, bahwa untuk satu hal ini saja (diterima dengan baik di keluarga suami) adalah sesuatu yang patut saya syukuri banyak-banyak.
Belum lagi, kalau mengingat betapa hangatnya keluarga besar suami (pakde/bude, paklik/bulik, kakak/adik sepupu, bahkan tetangga sekitar) terhadap saya. Betapa saya selalu merasa nyaman berlama-lama dengan mereka. 🙂

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Maka jika kamu menghitung nikmat ALLAH, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya.
Mungkin inilah kenapa beberapa orang memilih menulis jurnal syukur dalam keseharian, karena sebenarnya nikmatNYA sangat banyak. Tapi karena terasa biasa, kita seringkali terlupa mensyukurinya, bahkan sekadar mengingatnya.

Lalu saya teringat sepulang dari mudik kemarin, ketika saya tiba-tiba refleks berucap pada suami, di mobil, saat perjalanan pulang.
“Makasih ya Pa..”
“Kenapa?” beliau tanya, padahal sudah tahu maksud saya.
“Karena jadi suami yang kayak gini.”
Sebelumnya, saya baru selesai bercerita tentang perlakuan suami kenalan saya yang minta diperlakukan bak raja oleh istrinya. Disiapkan segala sesuatunya, bahkan untuk hal sesepele membawakan handuk saat suaminya akan mandi atau meletakkan sepatu kerja tepat di depan pintu agar suaminya tinggal pakai (tanpa harus mengambilnya sendiri dari rak sepatu). Si istri juga harus menyiapkan makan suaminya (dalam piring) dan membawakannya ke dalam kamar, karena suaminya terbiasa makan di kamar. Jika akan berangkat kerja, si istri jugalah yang bertugas memanaskan kendaraan suaminya lebih dulu.
Di samping itu, untuk urusan anak juga lebih banyak dihandle istri.
Entah ya, meskipun husnuzhannya si suami tetap ambil banyak peran lain yang saya tidak tahu, tapi rasanya saya tidak akan sanggup kalau suami saya bersikap demikian.
Maka lagi-lagi, ini adalah satu hal yang juga ternyata perlu saya syukuri banyak-banyak. Alhamdulillaah.. 🙂

Sepertinya, saya perlu lebih banyak merenung. Bermuhasabah setiap harinya.
Selain mengevaluasi hal-hal buruk yang diupayakan tidak terulang esok hari, saya juga perlu mengingat nikmat-nikmat ALLAH yang seringkali terlupa disyukuri.
Napas yang tak henti tanpa sesak sekalipun,
Pancaindera lengkap yang memudahkan saya melakukan segala hal,
Anak-anak yang mudah melakukan shalat lima waktu,
Tubuh yang terbilang sehat, sehingga ringan diajak beraktivitas,
Hal-hal lain yang saking biasanya, acapkali terlupa untuk disyukuri.
Termasuk rasa bahagia berhasil menuliskan ini malam ini, melawan kemalasan setelah berhari-hari tak menyentuh blog.
Maa syaa ALLAH. Alhamdulillaah. 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Posted in Episode Hidup

Angpau Lebaran

Tahun ini, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, saya kebagian tugas menyiapkan amplop-amplop berisi angpau Lebaran untuk keluarga di Blitar.
Jadi flashback waktu pertama kali mudik Blitar selepas menikah dengan suami dulu, saya termasuk yang menolak tradisi ini pada awalnya. Kala itu, kami tidak membagikan angpau Lebaran, tetapi bagi-bagi hadiah kecil untuk keponakan-keponakan kami. Bukan dalam wujud uang. Alasannya, berkaitan dengan memori saya tentang angpau Lebaran di masa kecil dulu.

Saya dibesarkan oleh Mamah-Bapak yang tidak pernah menyiapkan angpau Lebaran untuk keponakan-keponakannya. Saya dan kakak-adik saya sering dapat dari Om-Tante, Pakde-Bude, atau Mbah-Mbah di keluarga besar. Tapi, setahu saya, Mamah-Bapak nggak pernah membagikan angpau Lebaran. Kalaupun mau berbagi dalam bentuk uang, langsung diberikan kepada orang tuanya. Nominalnya lebih besar, nggak levelnya angpau Lebaran, tapi itu pun hanya Mamah-Bapak beri pada orang-orang tertentu. Biasanya, pada kerabat yang Mamah-Bapak anggap membutuhkan.
Bagi-bagi angpau untuk tujuan seru-seruan? Sepertinya tidak ada di kamus orang tua saya.
Anak-anaknya apakah dapat THR di hari raya?
Iya, seringnya begitu. Tapi tidak selalu. Di akhir momen Lebaran, Bapak sering tiba-tiba mengumpulkan kami bertiga dan bagi-bagi uang. Nominalnya suka-suka Bapak. Hehee.. 😀

Lalu, saat saya kecil dan kebagian angpau Lebaran dari saudara-saudara, saya tuh sering lihat penggunaan angpau Lebaran yang nggak penting. Akhirnya cuma berakhir buat beli jajan. Karena nominalnya juga kadang sekadarnya, sering lihat juga yang suka asal taro uangnya di mana aja. Hilang ya sudah. Intinya, di luar seru-seruan dapat uang baru-baru, tidak ada manfaat berarti yang saya amati.
Jadilah dua tahun pertama mudik Lebaran ke kampung halaman suami, kami tidak bagi-bagi angpau Lebaran berbentuk uang. Kami meluangkan waktu sebelumnya untuk mencarikan hadiah-hadiah kecil yang kira-kira bermanfaat untuk keponakan-keponakan kami. Kami bungkus sederhana dalam bentuk bingkisan. 🙂

Tapi, pada tahun ketiga, kami akhirnya beralih jadi ikut menyiapkan angpau Lebaran berbentuk uang seperti kebanyakan orang. Kenapa?
Pertama, saya akhirnya paham bahwa keceriaan di balik serunya dapat amplop berisi angpau Lebaran itu somehow memang priceless. Nggak penting isinya berapa, keponakan-keponakan kami tampak happy dan itu semacam tradisi yang dinanti-nanti.
Kedua, bagi-bagi angpau di keluarga besar suami ini menurut saya menyenangkan. Tidak ada ceritanya anak yang nodong minta angpau. DIkasih alhamdulillaah, tidak juga tidak ditagih. Anak-anak juga tidak ada yang membanding-bandingkan isi amplopnya dengan pemberian orang lain, misalnya. Bahkan, seringnya sih buka amplopnya tidak langsung di depan yang memberi.
Ketiga, simply karena bagi-bagi angpau ini lebih mudah daripada harus meluangkan waktu mencarikan dan menyiapkan hadiah-hadiah kecil. Kalau ada yang kelupaan, juga tinggal masukin aja uangnya ke amplop. 😀

Rasanya bersyukur melihat tradisi THR a.k.a. angpau di keluarga kami seperti ini.
Di media sosial, saya melihat cara-cara berbagi angpau yang berbeda-beda. Ada yang amplopnya langsung ditempelkan saat prosesi sungkeman. Ini menurut saya membuat prosesi sungkemannya jadi kurang khidmat. Anak-anak jadi lebih fokus ke dapat angpaunya daripada maaf-maafannya. Bahkan, biasa banget ditemukan justru orang dewasanya bilang, “Ayo, sungkeman dulu. Biar dapet angpau.” “Salim dulu, nanti dikasih THR.” Hmm.. gini-gini ini yang dulu sempat membuat saya mantap tidak ikutan berbagi angpau.
Ada juga yang anaknya diajak keliling silaturahim ke rumah-rumah, sambil diiming-imingi angpau. Saya juga tidak sepakat nih. Silaturahim jadi berkurang maknanya.

Pada anak-anak kami, kami mencitrakan silaturahim ke rumah-rumah kerabat atau saudara sebagai suatu hal yang menyenangkan. Bahkan jauh sebelum momen Lebaran. Fokusnya ke bertemu saudara, update kabar teman atau orang lain, plus menambah kenalan baru ketika akhirnya anak-anak jadi bertambah teman. Jadi, momen Lebaran jadi semakin menyenangkan bagi mereka karena rumah-rumah yang dikunjungi semakin banyak. Sulit memang, membuat mereka tidak fokus pada snack atau suguhan yang terhidang di tiap rumah. Tapi, setidaknya mereka senang berkunjung bukan karena alasan itu. Apalagi, alasan dapat atau tidak angpau dari tuan rumah. 🙂

Lalu, ke mana larinya uang THR/angpaunya anak-anak?
Selama ini, karena anak-anak kami terhitung belum dewasa, setiap kali mereka mendapat uang dari siapapun (baik dalam bentuk angpau Lebaran ataupun bukan), maka uang tersebut saya yang simpan. Kami membuat kesepakatan dan memberikan pengertian pada anak-anak, uang tersebut tidak akan digunakan untuk keperluan mama-papanya (atau keluarga), tapi untuk kebutuhan anak-anak. Misalnya, membeli sepatu, tas, atau keperluan sekolah lain. Kadang-kadang juga untuk mainan. Anak-anak juga boleh request untuk menggunakan uangnya, seperti untuk donasi/sedekah atau membelikan hadiah untuk seseorang. Mereka happy jika bisa berinfaq atau memberi hadiah dengan uang mereka sendiri. 🙂

Jadi, bagi-bagi angpau Lebaran ini sah-sah saja. Asal, sesuaikan juga dengan kemampuan kita. Kalau ada rizqinya, ya silakan. Nominalnya disesuaikan dengan kemampuan, jangan sampai memaksakan diri dan malah nggak ada uang untuk kebutuhan yang lebih primer.
Lalu, tetap ingatkan anak-anak untuk menjadikan tradisi angpau ini sekadar penambah keseruan berhari raya saja. Mengambil nilai manfaat saling berbagi hadiah. Tidak untuk dibanding-bandingkan nominalnya, dan bukan juga sesuatu hal yang sifatnya wajib. Jangan sampai tradisi THR/angpau Lebaran ini justru menjadikan banyak anak-anak serupa peminta-minta.
Masih sering sedih sih, kalau lihat anak-anak yang terbiasa nodong THR sama orang lain saat silaturahim. 😦
Pastikan anak-anak kita tidak termasuk di dalamnya ya? 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–

Posted in Dialog Hati, Surat Cinta

Validasi Dua Sisi

Diamanahi anak lebih dari satu, tentunya harus dihadapkan dengan kondisi harus melerai pertengkaran yang terjadi berulang kali. Setiap hari adaaaa saja yang jadi pemicu. Seringnya, sebenarnya masalahnya sederhana. Tapi, tak jarang berujung adu fisik, teriakan, hingga tangisan.
Sebagai orang tua, akhirnya harus sigap menjadi penengah. Bisa jadi memang ada yang salah, tapi penyelesaiannya nggak bisa cuma menyalahkan salah satu dan membela yang lain. Ada satu hal penting yang perlu dijadikan pegangan ketika menjadi mediator, validasi dua sisi. Karena setiap perasaan itu valid, maka penting memberi kesempatan yang sama pada dua pihak untuk bicara, menjelaskan. Mendengarkan secara penuh apa yang dirasa, apa yang menjadi masalah masing-masing pihak untuk diselesaikan.

Mudik kali ini, ada lima anak yang harus dihadapi. Tiga anak saya, dan masing-masing satu anak adik-adik (ipar) saya.
Kemarin, Umair (salah satu keponakan saya, usia menjelang 4 tahun) tiba-tiba berteriak menangis. Di sela tangisnya, terdengar dia menyalahkan BIru yang menyenggolnya, membuat bagian bibirnya sakit. Biru, menolak mengakui dan justru menyalahkan Alika. “Bukan aku, itu Lika. Kok aku yang disalahin?” protesnya.
Alika, yang awalnya tenang, akhirnya juga menangis karena terus-terusan disalahkan oleh masnya.
Ketika saya datang, ketiganya saling berteriak di sela tangisan, sambil saling menyalahkan. Umair jadi ragu menyalahkan Biru, dan beralih ikut menyalahkan Alika. Makin kencang lah tangisan Alika.
Saya mendekat, memeluk Alika sambil berusaha menenangkan ketiganya.
“Sekarang tenang dulu yuk semuanya. Mama mau dengarkan satu-satu. Bude mau dengarkan satu-satu,” saya ucapkan berulang, membahasakan diri “mama” dan “bude” untuk ketiganya. “Tapi, harus pada berhenti dulu nangisnya. Nggak bisa dengarlah kalau pada nangis semua, kan?”
Sulit, karena semua masih berlomba saling menyalahkan sambil menangis.

Akhirnya saya fokus pada Biru dulu, yang paling tua di sana.
“Mas diam dulu yuk, berhenti dulu nyalahin Alikanya. Tenang dulu, nggak ada yang nyalahin mas kok.”
“Tapi aku nggak salah. Umair nyalahin aku terus,” katanya.
“Umair ada yang sakit? Yang nyenggol pasti nggak sengaja kok sayang,” saya beralih ke Umair. Mencoba menenangkan, menghentikan marah dan tangisnya.
Dia menunjuk bibirnya sambil merengut, masih kesal.
Alika, di pelukan saya, masih berusaha menghentikan tangisnya. Saya masih pelan-pelan menepuk-nepuk punggungnya.
“Alika nggak merasa nyenggol Umair?”
“Enggak, aku nggak dorong, tapi mas nyalahin Lika terus,” katanya.

“Maaf ya Umair, mas mbaknya nggak ada yang merasa nyenggol. Mungkin tadi pas buru-buru pada lari, nggak sengaja nyenggol Umair. Jadi kena bibirnya ya, maaf ya.. Coba sini dilihat bude, sambil didoain bareng ya.. Ya ALLAH, sembuhkan bibir Umair.. Aamiin..”
Ketiganya mulai tenang. Meskipun, saat saya ajak saling bersalaman memaafkan, belum ada yang mau.
Ya sudah, tak apa. Mereka perlu waktu.
“Nanti main-main lagi sama-sama ya..” kata saya.

Validasi perasaan.
Saya belajar, bahwa setiap perasaan itu valid. Terlepas dari benar dan tidaknya, atau bagaimana seharusnya perasaan itu diarahkan, setiap yang dirasa adalah valid.
Merasa senang, sedih, kecewa, marah, dendam, ikhlas, legowo, pasrah, apapun itu.
Semua perasaan itu valid.
Maka ketika terjadi perselisihan, yang harus digali lebih dulu adalah apa yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Bagaimana sudut pandang masing-masing pihak.
Seringkali, terutama pertengkaran di antara anak-anak kecil, yang terjadi hanya salah paham. Maka masing-masing merasa sebagai korban yang pantas menyalahkan. Jadilah tidak sampai pada titik temu. Pihak penengah lah yang harus bisa membantu menemukannya. Tentunya, diawali dengan mendengar satu-satu, memvalidasi perasaan masing-masing pihak dengan utuh. 🙂

Dari pengalaman, saya cukup luwes melerai pertengkaran anak-anak. Saya selalu bisa memposisikan diri sebagai pihak netral yang siap mendengarkan penuh dan memvalidasi perasaan masing-masing dari dua sisi.
Ironisnya, kalau dipikir-pikir, saya sering gagal memvalidasi perasaan suami ketika kami terlibat satu perdebatan atau ketidaksepakatan.
Saya bukan lupa, seringnya saya dengan sengaja mengabaikan perasaan suami. Padahal, sejatinya saya paham bahwa apapun yang dirasakan suami juga valid.
Kasus yang paling sering terjadi adalah soal kecerobohan atau kelalaian suami dalam melakukan sesuatu yang kerap membuat saya gemas. Suami saya tuh kebiasaan lupanya luar biasa. Bahkan untuk hal-hal yang baru saja saya ingatkan, beliau mudah untuk lupa. Kalau pas menyangkut hal yang penting dan efek lupanya merembet ke mana-mana, saya sering kesal sekali dan nyerocos panjang marah-marah ke beliau. Lalu mengikuti alur yang berulang. Saya marah-marah, suami hanya diam, saya semakin marah karena merasa tidak ada tanggapan, suami hanya minta maaf, saya marah lagi karena merasa suami kurang effort untuk berubah, suami minta maaf lagi, lalu lama-lama emosi saya akan mereda sendiri.

Ternyata, jika urusannya dengan suami, saya masih perlu banyak berlatih validasi dua sisi.
Tidak hanya perasaan saya kan yang valid? Suami saya juga.
Saya sering menganggap enteng, bahkan terkesan tidak percaya dengan ucapan suami “Aku juga berusaha Ma, tapi ya memang susah sekali berubahnya.”
Di mata saya, beliau sama sekali tidak ada effortnya.
Saya sering menganggapnya nggak serius berusaha berubah. Kurang kuat berupaya. Padahal, percaya ketika beliau mengakui kesalahan dan usahanya, dengan mengesampingkan sudut pandang saya lebih dulu, adalah bentuk validasi perasaan yang juga penting dilakukan.
Dengan memvalidasi perasaannya lebih dulu secara penuh, setidaknya beliau akan merasa mendapat support untuk berusaha lebih baik.
Toh saya juga masih banyak kurangnya. Masih berusaha keras mengelola emosi dengan lebih baik, dan banyak hal lain lagi.
Sementara saya yang sering menuntut suami, rasanya suami sudah sebegitu banyak mencoba mengerti sudut pandang saya.
Maaf ya Pa. Semoga ke depannya aku bisa lebih baik lagi memvalidasi perasaan papa lebih dulu juga. 🙂

Wallaahu a’lam bishawab.

–niswatizulfah–